Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan saya sebelumnya, yang masih berkutat di sekitar penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat.
Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law.
Sebagaimana layaknya Cyber Law di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstraterritorial, jadi tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa bila ada blogger di Belanda yang menghina Presiden SBY melalui blognya yang domainnya Belanda, bisa terkena keberlakuan UU ITE ini.
Pasal dalam Undang-undang ITE
Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen, terutama konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di dunia maya sangat rawan penipuan.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2)
Pasal 27 ayat (1)
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pasal 27 ayat (3)
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. ”
Pasal 28 ayat (2)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 45 ayat (1)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 45 ayat (2)
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Melihat ancaman sanksi yang diberikan, jelas kita tidak bisa anggap sepele pasal-pasal tersebut di atas.
Pelanggaran Norma Kesusilaan
Larangan content yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) idealnya mempunyai tujuan yang sangat mulia. Pasal ini berusaha mencegah munculnya situs-situs porno dan merupakan dasar hukum yang kuat bagi pihak berwenang untuk melakukan tindakan pemblokiran atas situs-situs tersebut. Namun demikian, tidak adanya definisi yang tegas mengenai apa yang dimaksud melanggar kesusilaan, maka pasal ini dikhawatirkan akan menjadi pasal karet.
Bisa jadi, suatu blog yang tujuannya memberikan konsultasi seks dan kesehatan akan terkena dampak keberlakuan pasal ini. Pasal ini juga bisa menjadi bumerang bagi blog-blog yang memuat kisah-kisah perselingkuhan, percintaan atau yang berisi fiksi macam novel Saman, yang isinya buat kalangan tertentu bisa masuk dalam kategori vulgar, sehingga bisa dianggap melanggar norma-norma kesusilaan.
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Larangan content yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) ini sebenarnya adalah berusaha untuk memberikan perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi, dimana penggunaan setiap informasi melalui media yang menyangkut data pribadi seseorang atau institusi harus dilakukan atas persetujuan orang/institusi yang bersangkutan.
Bila seseorang menyebarluaskan suatu data pribadi seseorang melalui media internet, dalam hal ini blog, tanpa seijin orang yang bersangkutan, dan bahkan menimbulkan dampak negatif bagi orang yang bersangkutan, maka selain pertanggungjawaban perdata (ganti kerugian) sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU ITE, UU ITE juga akan menjerat dan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya.
Dalam penerapannya, Pasal 27 ayat (3) ini dikhawatirkan akan menjadi pasal sapu jagat atau pasal karet. Hampir dipastikan terhadap blog-blog yang isinya misalnya: mengeluhkan pelayanan dari suatu institusi pemerintah/swasta, atau menuliskan efek negatif atas produk yang dibeli oleh seorang blogger, blog yang isinya kritikan-kritikan atas kebijakan pemerintah, blogger yang menuduh seorang pejabat telah melakukan tindakan korupsi atau tindakan kriminal lainnya, bisa terkena dampak dari Pasal 27 ayat (3) ini.
Pasal Pencemaran Nama Baik
Selain pasal pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE tersebut di atas, Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sudah lama menjadi momok dalam dunia hukum. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal 310 KUHP :
“(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan……..”
“(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka umum,maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan…”
“(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”
Pasal 311 KUHP:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui, maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Pasal-pasal tersebut di atas walaupun bertujuan baik, namun dikhawatirkan dapat menjadi pisau bermata dua, karena disisi lain bisa membahayakan pilar-pilar demokrasi, dimana azas demokrasi menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran serta kebebasan untuk memperoleh informasi.
Sebagaimana penulis pernah ungkapkan pada tulisan sebelumnya bahwa pada sebagian besar negara-negara penganut demokrasi, macam Amerika, Meksiko, pasal-pasal pidana mengenai pencemaran nama baik telah dihilangkan dan cukup dimasukkan dalam ranah perdata, yang artinya, apabila seseorang merasa telah dicemarkan namanya, maka yang bersangkutan diberikan hak untuk meminta ganti kerugian kepada pihak yang telah mencemarkan namanya.
Di Indonesia sendiri atas pasal-pasal pidana tentang pencemaran nama di dalam KUHP telah diajukan hak uji materiil (judicial review) ke mahkamah konstitusi. Sayangnya usaha ini tidak membawa hasil, permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
(Note: judicial review adalah hak mahkamah konstitusi berdasarkan permohonan pihak-pihak terkait untuk menguji apakah suatu undang-undang telah melanggar konstitusi atau tidak, sehingga bisa berakibat pembatalan atas keberlakuan isi undang-undang tersebut).
Permusuhan atau Kebencian
Larangan informasi yang bisa menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) bertujuan untuk mencegah munculnya content yang bersifat mengadu domba dan dapat menumbuhkan disintegrasi. Pasal ini juga dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap toleransi mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural.
Sama halnya dengan Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) ini bisa sangat subjektif dalam penerapannya dan interpretasinya. Tulisan blogger yg mengkritisi praktek poligami atau menulis tentang seorang kyai yang hobi mengawini daun muda, bisa dianggap memancing permusuhan yang berbau SARA.
Oleh banyak kalangan, sejak awal sudah disadari bahwa pasal-pasal yang saya sebut di atas bisa berbahaya, tidak hanya bagi blogger tapi terutama bagi wartawan dan media pers. Hanya saja, resiko terhadap wartawan dan media pers cukup terlindungi dan dapat diminimalisir oleh keberadaan Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan aturan main pers yang dibatasi oleh koridor berupa kode etik jurnalis. Hal ini beda dengan blogger yang dalam tulisannya kadang bisa berperan sebagai penyambung lidah rakyat atau istilah kerennya sekarang sebagai pewarta warga.
Kesimpulan
Bila dilihat secara kontekstual, pasal-pasal tersebut diatas memang pada dasarnya berusaha melindungi masyaratakat dari content-content yang tidak bermutu dan tidak bertanggung jawab.
Hanya saja, dikhawatirkan, keelastisitasan pasal-pasal tersebut dapat digunakan oleh rezim pemerintah yang berkuasa untuk membatasi akses masyarakat luas dari informasi mengenai kebobrokkan rezim yang berkuasa. Sehingga tujuan yang semula untuk melindungi masyarakat dari informasi yang tidak bermutu dan tidak bertanggung jawab justru berubah menjadi alat untuk melindungi pemerintah yang bobrok dari kemungkinan terbongkarnya kebobrokkan itu.
Mungkin banyak dari teman-teman blogger yang setelah membaca tulisan saya ini jadi berpikir kok ngeblog jadi gak asyik lagi? Maaf dech kalo sampai timbul pemikiran tersebut. Sekali lagi saya bukan menakut-nakuti, lebih baik kita sedia payung sebelum hujan.
Untuk menghindarkan resiko-resiko tersebut, akan lebih baik bila tulisan-tulisan kritis kita di blog sebaiknya didasarkan pada fakta-fakta atau bukti yang kuat, atau bila kita tidak yakin bukti dan datanya kurang kuat, kita bisa membuat disclaimer bahwa tulisan dibuat berdasarkan fakta atau data yang belum dicek ulang kebenarannya. Pada akhirnya, sepanjang kita bisa bersikap dewasa dan bertanggung jawab dalam menulis, saya yakin kita bisa terhindar dari resiko-resiko tersebut. So, mari ngeblog dengan dewasa dan bertanggung jawab.
Penulis Mou - suarahatiku.blogdetik.com
0 comments:
Posting Komentar