Judul : Nagabonar Jadi 2
Pemain Utama : Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno
Sutradara : Deddy Mizwar
Penulis Naskah : Musfar Yasin
Produksi : Bumi Prasidi Bi-Epsi & Demi Gisela Citra Sinema
Tahun Produksi : 2007
Durasi : ± 118 menit, 42 detik.
" …tegakkan badanku,
aku ingin melihat merah-putih berkibar dipuncaknya..
Deddy Mizwar dalam lakon Nagabonar "
Kata-kata ini merupakan cuplikan dari sebuah tayangan hiburan publik berkategori komedi-edukatif, ditengah-tengah republik dengan sejumput asa. Penontonnya pun variatif, dari wong cilik sampai wakil presiden menyaksikan langsung di bioskop.
Ujian Nasional(isme)
Siapapun tahu Indonesia telah berusia 62 tahun. Bagi manusia bumi, suatu usia dengan tingkat kedewasaan serta pengalaman mumpuni. Lika-liku kehidupan begitu sarat dialami dan dijalani. Namun tak demikian rasanya dengan kedewasaan isi republik. Saban tahun, seremoni dilakukan, saban tahun peringatan dan refleksi dilakoni, saban tahun pemaknaan-pemaknaan dikumandangkan.
klik disini...Artikel asli
Bersamaan dengan itu semua, petaka alam mengguncang dihampir semua teritori bangsa, hiruk-pikuk politik kian mengaburi sebagian fatsoen. Pembunuhan antarpenduduk tak terlacak oleh alasan rasional, kemiskinan berada di ujung harapan yang tak berkesudahan. Belum lagi menengok rumah-rumah rakyat di perkotaan tergusur tanpa tanding, perekonomian telah hampir disatroni pelan-pelan berada dalam kuasa korporasi kapital. Kita hanya menjadi penonton setia di negeri yang dikenal gemah ripah lohjinawi. Keadaan semakin lama makin tak menentu saja.
Ujian Nasional(isme)
Siapapun tahu Indonesia telah berusia 62 tahun. Bagi manusia bumi, suatu usia dengan tingkat kedewasaan serta pengalaman mumpuni. Lika-liku kehidupan begitu sarat dialami dan dijalani. Namun tak demikian rasanya dengan kedewasaan isi republik. Saban tahun, seremoni dilakukan, saban tahun peringatan dan refleksi dilakoni, saban tahun pemaknaan-pemaknaan dikumandangkan.
klik disini...Artikel asli
Bersamaan dengan itu semua, petaka alam mengguncang dihampir semua teritori bangsa, hiruk-pikuk politik kian mengaburi sebagian fatsoen. Pembunuhan antarpenduduk tak terlacak oleh alasan rasional, kemiskinan berada di ujung harapan yang tak berkesudahan. Belum lagi menengok rumah-rumah rakyat di perkotaan tergusur tanpa tanding, perekonomian telah hampir disatroni pelan-pelan berada dalam kuasa korporasi kapital. Kita hanya menjadi penonton setia di negeri yang dikenal gemah ripah lohjinawi. Keadaan semakin lama makin tak menentu saja.
Keadaan ini bagi kita yang mau mengernyitkan dahi sejenak, akan bertanya. Kemana kemandirian bangsa, kemana kebanggaan bernegara, kemana kejatidirian setelah pernah dulu republik miliki? Para veteran hidup dalam kesusahan tanpa ada yang memerhatikan, padahal mereka terus bersemangat menghadiri perayaan agustusan yang diundang pemerintah. Para petani sedih akibat harga pupuk membubung lebih dari takaran biasa, sebagian ibu-ibu rumah tangga terutama di desa mulai resah dengan konversi minyak tanah ke gas yang boleh jadi otomatis mengonversi dari subsidi minyak kepada pembelian murni gas oleh rakyat meskipun diawal-awal gratisan dalam pertukaran kompor. Hal-hal dalam narasi diatas, adalah kenyatan yang menggejala di sekitar kita di 62 tahun republik dari titik merdeka.
Visual peduli wong cilik
Sepertiga awal tahun 2007, kita seolah mendapat hiburan edukatif dari film yang dilakoni Deddy Mizwar dalam Nagabonar Jadi 2. Tokoh rekaan yang imajineri oleh Asrul Sani di tahun 1987 ini, memberikan gambaran cergas bahwa republik yang dirundung masalah tetap memiliki optimisme akan ada orang-orang yang inspiratif. Cerita tersebut diakui oleh sebagian besar yang pernah menyimaknya dengan ragam pendapat. Ada yang bilang: jadi kangen dengan orangtua, dan munculnya kembali nasionalisme yang sekarang sedang terseok. Lainnya mengatakan: tumbuhnya komunikasi dan kecintaan antargenerasi. Film ini langsung mendapat apresiasi berupa penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, selain menjadi pemenang kategori Film Terpuji dalam ajang Festival Film Bandung 2007. Sebagaimana mengulang kesuksesannya atas Nagabonar debutan pertama yang memeroleh Piala Citra pada Festival Film Indonesia, 20 tahun silam.
Untuk memerjelasnya, penulis mencoba mengambil dua-tiga cuplik yang sekiranya menjadi pelajaran berharga bahwa Indonesia masih ada dan terus ada. Pertama, kepedulian Nagabonar terhadap rakyat kecil yang sering disebut politisi sebagai “wong cilik”. Dibuktikan dari komunikasi yang terbangun dengan Umar (Lukman Sardi), sang sopir bajaj sekaligus menjadi kawan baiknya, makan bersama dengan pekerja rumah tangga, dan masih seabrek lainnya. Banyak dialog yang terasa memikat dengan berakrab di pemukiman kumuh sembari bermain bola bersama anak-anak karena tak ingin Indonesia kalah terus dalam bersepak bola. “Apa kata dunia? Kalo Nagabonar tidak main bola”, diucapkannya berulang-ulang.
Kedua, perhatian Nagabonar terhadap para veteran/pejuang yang menjadi pahlawan disentralkan pada Panglima Jenderal Sudirman, tokoh proklamator dan banyak nama di taman makam pahlawan kalibata yang dikunjungi dan dihormatinya termasuk orangtua dari sopir bajaj. Sementara veteran yang masih hidup, mengalami langsung pertempuran meraih kemerdekaan. Namun yang diterimanya belumlah setimpal dari apa yang diperjuangkannya tempo doeloe. Hingga kini masih banyak veteran yang hidup dengan kelayakan yang memprihatinkan. ”Kalau kau hidup dizaman itu dan hari ini kau berdiri dihadapan beliau berdua. Walaupun cuma patungnya saja, jantungmu akan berdegup keras. Tidak bisa tidak, kau akan hormat pada beliau,” Nagabonar merespon Umar sambil berjalan menuju bajaj. Dialog ini menunjukkan betapa putra proklamator begitu kharismatik dan menyejarah.
Ketiga, komunikasi yang terbangun antargenerasi (tua-muda) diperlihatkan dengan rasa cinta yang mendalam: antara Nagabonar dan Bonaga (Tora Sudiro) anaknya maupun para karib dari Bonaga dan tentu saja Monita: kekasih Bonaga yang diperankan manis oleh Wulan Guritno. Meski Nagabonar tak habis mengerti dengan “gaya” baru anak-anak muda yang tercipta dari gejala global yang kian menerpa. Tetap berusaha dipahaminya. Mencari jalan keluar terbaik hingga Bonaga pun tersentuh hatinya untuk kemudian memahami Nagabonar. Kisah haru ini menjadi satu dominasi cerita yang layak ditebar.
Keempat, rasa nasionalisme Nagabonar sang tokoh pejuang lokal, tak lekang oleh zaman, tak luntur oleh gejala global. Membawa penonton tergiring pada aspek-aspek yang mulai “punah” dari kesejarahan yaitu rasa nasionalisme. Jangan-jangan kita baru merdeka 62 persen saja? Kemiskinan sebagai dampak pembangunan yang kurang berpihak pada keadilan wong cilik. Nasionalisme tak ubahnya seperti akumulasi tertib persatuan lokal-lokal sebagaimana Jong-jong tempo doeloe. Melalui konstruksi patriotik lewat sentuhan tembang-tembang perjuangan yang mulai senyap dilalap zaman, film ini memberi spirit tersendiri. Kabar ter-update, kita cukup terhentak dengan berita lantunan nasional. Indonesia Raja tiga stanza: Indonesia tanah airkoe, Indonesia tanah yang soetji, Indonesia tanah yang mulia.
Rupanya, tayangan tersebut tak hanya menjadikan kita sebagai penonton semata. Namun lebih dari itu, bagi yang mengerjitkan dahi sejenak, sedikit-banyak akan berpikir bahwa republik terus bergerak. Tak gentar dari upaya “pelucutan” teritori, meskipun marak terjadinya parade bendera separatis yang mengancam kedaulatan. Bahwa pembangunan mesti terus dijalani. Agar rakyat tak akrab dengan perasaan runyam, terpinggirkan, sedih, tersiksa hingga tak dapat berbuat apa-apa. Maka yang dapat berbuat apa-apalah yang mestinya dapat berbuat untuk wong cilik serta mungkin banyak di sekitar kita yang sedang dirundung lilitan pelik. Merdeka, dari sebenar-benar merdeka!
Aku suka bengt ma Ngabonar jadi 2, walaupun ada aja kritikus fil yang mengatakan film tsb jauh dr nagabonar 1 tapi tetep aku berpendapat bahwa film ini sesuai dengan zamannya. Kritik2 sosial yang ada di film tsb bener2 kena banget deh ma kondisi sekarang.
BalasHapus